Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah
suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar
dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia
sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan
survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan
pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan
dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita
menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan
tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat
beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas
saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah
telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap
hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan
efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat
mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk
dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah
misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan
dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas
pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang
mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal
sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah
gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas
pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana
menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih
‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses
yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat
pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya
bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi
pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang
digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang
menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih
baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan
di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga
pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan
dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education.
Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal
itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup
tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya
pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training,
kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih,
namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan
berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke
lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang
benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta
didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks
pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami
survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang
mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta
didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya
pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan
survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di
Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam
pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul
16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi,
peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan
banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya.
Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak
efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan
informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi
pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu
pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil
yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga
membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu
pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada
kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di
bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan
kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat
kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik
tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga
mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga
berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia.
Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga
membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan
ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004,
kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi
proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti
kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar
harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost
biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering
mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung
menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika
keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya
masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin
dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri
terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi
teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik
sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi
ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan
terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan
dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi
karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan
relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan,
maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan
pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah
ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program
yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan
sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak
mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi
pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk
menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah.
Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi
di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere
globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang
ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal
terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi,
demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan
kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami
dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan
adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga
kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang
hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan
bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan.
Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai
di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat
disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja
karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika
kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah
sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi
kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN
sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan
seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti
pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang
dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama
beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu
hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi
lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang
sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di
Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih
banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas.
Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal
seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya,
kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih
baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya
kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara
khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi
informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang
tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung
25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang
kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581
atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26%
mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka
kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK
meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU
No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan,
melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru
menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan
28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk
SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya
13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu,
dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503
guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat
pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2
ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar
yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan
guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan
serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per
bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di
sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti
itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU
itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada
gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan
lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab
bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan
guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan
pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf
ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen
dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru)
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35
dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari
44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita
jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang
terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di
seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report
2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association
for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan
bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat
terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),
74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal
pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA,
1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa
SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari
77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73
dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen
Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD
pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP
masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan
pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam
usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya
manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan
strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan
sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi
oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar
36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya
sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup
sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat
ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang
memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta
sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses
atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk,
segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite
Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki
konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu
Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas
pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak
jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya
biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya
peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang
dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri
Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar
hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan
Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan
pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1)
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam
pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional
pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti
Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja
akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk
menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan
agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum
pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa
PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan
tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa
negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya
yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan
dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan
bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni
solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan
sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah
yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti
rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada.
Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam
atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme
saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang
menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan
pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi
yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan
prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah
teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan
kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi
dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas
guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan
alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.