Dikutip dari Tabloid Bintang Indonesia Edisi 988 | Tahun XX | Minggu Keempat April 2010 [Edisi Online: Kamis, 22 April 2010]
— Empat November. Dalam catatan sejarah nasional, tanggal itu tak masuk
tanggal penting. Tidak ada peristiwa nasional yang mengubah jalan hidup
bangsa kita terjadi pada tanggal itu, lalu kita peringati setiap tahun.
Namun, pada tanggal 4 November 1990 terjadi peristiwa yang menandai
perkembangan budaya pop kontemporer kita.
Apa itu? Anda mungkin bertanya-tanya. Di tanggal itu serial Doraemon mulai tayang di salah satu TV kita, RCTI.
Saat Doraemon
mulai tayang di tahun 1990 itu RCTI masih sangat muda, baru lewat
setahun. Di awal-awal kehadirannya kita menikmati serial macam Mac Gyver, Air Wolf, My Secret Identity, Tour of Duty, lalu kemudian Beverly Hills 90210, Saved by the Bell. Sementara untuk anak-anak disuguhi Sesame Street, Ksatria Baja Hitam, Saint Seiya, Candy Candy,
dan macam-macam. Semuanya sudah tamat atau kita tak mendapat kesempatan
menontonnya sampai akhir karena RCTI tak tayangkan semua episode.
Namun, ada satu acara yang tayang terus dari dulu hingga kini: Doraemon. Minggu ini Doraemon sudah mencapai episode ke-1000!
Wow, nggak nyangka ya, sudah selama itu Doraemon ada di tengah-tengah kita, mengisi ruang keluarga kita selama 20 tahun tanpa henti, setiap Minggu jam 8 pagi.
Menonton Doraemon
setiap Minggu pada jam itu sudah seperti ritual yang dilakukan setiap
pekan bagi anak-anak generasi 1990-an. Pada jam itu, setiap anak
menghabiskan 30 menit di depan TV saban minggu. Orangtua menyingkir atau
terpaksa ikut menonton (dan kemudian juga ikut menikmatinya).
Dengan begitu bisa dikatakan, Doraemon seperti acara Si Unyil bagi generasi ’80-an. Bagi generasi itu, Si Unyil adalah serial yang tak boleh dilewatkan setiap Minggu pagi. Anak-anak generasi ’80-an hapal semua idiom yang ada di serial itu plus hapal semua nama dan karakter tokohnya. Begitu pun Doraemon bagi generasi ’90-an.
Kita
hapal tokoh-tokohnya. Doraemon yang suka kue dorayaki dan takut tikus
(karena telinganya digigit sampai putus, aslinya Doraemon bertelinga
seperti adiknya, Dorami); Nobita yang penakut dan selalu ditolong
Doraemon; Shizuka si pintar tapi kalau mandi lama sekali; Giant yang
galak dan ingin jadi penyanyi meski suaranya buruk (Hapal lagunya?
Begini, bukan? “Aku Giant, anak yang hebat…”); Suneo anak orang kaya
bertubuh lebih pendek dari yang lain, licik, serta sering iri pada
Nobita yang diberi peralatan canggih. Kita bahkan hapal seperti apa
suaranya Doraemon saat mengeluarkan alat-alatnya (“Senter pengecil!”),
gaya manja Shizuka (“Ah, Nobita”), Suneo (“Pasti alat pemberian Doraemon
itu.”), Giant (“Berikan padaku, Nobita!”), pak guru dan ibu Nobita
(“Nobita, sudah kerjakan PR belum?” dan “Nobita, bereskan kamarmu!”).
Kita
juga hafal alat-alat canggih yang paling sering dikeluarkan Doraemon
dari kantung ajaibnya. Ada pintu kemana saja, baling-baling bambu,
senter pengecil/pembesar, hingga meja belajar Nobita yang bisa
difungsikan jadi mesin waktu. Kita bahkan hafal luar kepala lagunya,
mencarinya di Internet, diunduh, lalu menyimpannya di hand phone sebagai nada panggil.
Selain Si Unyil dulu, tidak ada acara buatan anak negeri yang setiap unsurnya begitu diakrabi penonton anak-anak seperti Doraemon. Boneka Si Komo dan acara Boncu (Boneka Lucu) umurnya terlalu pendek. Pun begitu dengan tontonan buatan luar negeri. Tidak ada yang begitu melekat seerat Doraemon. Tidak Teletubbies, Spongebob, atau Dora. Serial Upin & Ipin
masih harus diuji waktu. Sepuluh atau 20 tahun lagi kita baru pantas
mendiskusikannya sebagai penanda budaya pop yang begitu berarti. Crayon Shincan masih butuh beberapa tahun lagi.
Doraemon awalnya adalah manga (komik Jepang) yang awalnya digambar pada 1969. Kemudian ia mengajak kawan lama di masa SD, Abiko Moto unuk mengembangkan karakter itu. Jadilah Doraemon setahun kemudian dan nama mereka digabung jadi Fujiko F. Fujio (saat Fujimoto meninggal tahun 1999, jadi berita utama di Jepang). Anime alias serial kartunnya mulai tayang 1979. Totalnya, Doraemon telah melewati sekitar 20 pergantian perdana menteri.
Doraemon
juga tak hanya punya arti bagi anak-anak di Indonesia. Sebagai
tontonan, ia telah melanglang buana hingga ke seluruh dunia. Penggemar
Doraemon ada di Amerika, Eropa, Australia, hingga Timur Tengah. Majalah Time
edisi Asia bahkan menghargainya sebagai salah satu Pahlawan Asia pada
2002. Sedangkan pemerintah Jepang sendiri memilih Doraemon sebagai duta
besar anime Jepang ke seluruh dunia pada 2008 lalu.
Bagi Indonesia, Doraemon adalah sebentuk invasi soft power,
istilah yang dipopulerkan cendekiawan Joseph Nye. Dalam tesisnya, pasca
Perang Dingin, budaya memainkan peran yang semakin penting dalam
politik dunia. Invasi pertama saat Jepang menjajah kita secara fisik
pada Perang Dunia II dari 1942-1945. Kemudian yang kedua saat Jepang
menginvasi secara ekonomi ketika Orde Baru yang baru lahir begitu
tergantung pada donasi Jepang, saat itu barang-barang dan mobil-mobil
merek Jepang membanjiri negeri; peristiwa Malari 1974 tak mampu
membendung Jepang. Nah, ketiga invasi budaya. Embrionya sudah mulai pada
1980-an ketika kita mulai mengakrabi serial TV Jepang yang
didistribusikan lewat video VHS macam Voltus (Voltes), Goggle V, hingga serial Oshin di TVRI. Puncaknya adalah Doraemon
tayang di RCTI. Selepas itu, komik Jepang alias manga membanjiri toko
buku, menggerus komik lokal. Di TV, selain Doraemon bermunculan
judul-judul anime lain. Hingga kini entah sudah berapa judul anime
tayang, mulai dari Doraemon sampai Naruto kini.
Uniknya, kita senang saja “dijajah secara halus” oleh anime Jepang macam Doraemon. Dan yang terpikat tak hanya kita, tapi juga seluruh dunia.
Tapi, mengapa kita bisa begitu terpikat pada Doraemon?
Dalam esainya saat membahas Doraemon sebagai Pahlawan Asia di majalah Time,
Pico Iyer meperingatkan kita bakal terpikat melihat Doraemon. Lebih
jauh, ia menyebut karakter Doraemon punya kelasnya tersendiri. Ia tak
sekadar simbol (seperti Mickey Mouse) atau pun teman (seperti Winnie the
Pooh). Iyer menulis, “Jika Bart Simpson mengatakan dan melakukan apa
yang kita semua takut perbuat, Doraemon memberi kita apa yang kita
impikan.”
Doraemon, menurut esai cendekiawan Saya Shiraisi (Kompas, 2 Juni 2000), Doraemon berbeda dengan Astro Boy bikinan
Osamu Tezuka. Jika Astro Boy tinggal di kota metropolis masa depan,
Doraemon justru pergi dari masa depan untuk tinggal di masa kini.
Doraemon tinggal untuk membantu Nobita, “teman yang manja namun
kreatif,” catat Shiraishi.
Menurutnya,
dalam masyarakat Jepang yang telah meng-industri, Doraemon bisa
diartikan sebagai simbol pemasar dan pengiklan ideal. Doraemon mengerti
persoalan, kebutuhan, dan angan-angan Nobita, konsumennya, serta mampu
menjawab persoalan tersebut. Alat-alat Doraemon sangat mudah
dioperasikan meski berasal dari masa depan dan berteknologi canggih.
Nobita,
di sisi lain, kata tafsiran Shiraishi, mewakili gambaran konsumen
kreatif. Nobita menerima derita hidupnya sebagai anak-anak yang selalu
diganggu anak lain, tidak pintar (ia hanya jago main gelang tangan),
tapi juga tetap gembira, penuh semangat, dan imajinasi. Dalam setiap
episode yang seakan jadi formula baku, Nobita selalu menggunakan alat
pemberian Doraemon di luar niatan awalnya. (seorang kawan mengartikan
Nobita yang akhirnya menemui kesulitan gara-gara alat pemberian Doraemon
sebagai gambaran anak kecil yang sebaiknya jangan selalu dituruti semua
kemauannya. Sebab pada akhirnya barang pemberian [misalnya
mobil-mobilan] itu akan dirusak setelah satu-dua hari.)
Memang,
sering percobaan Nobita berujung petaka. Tapi, keingintahuan dan
optimismenya tak pernah hilang. Shiraishi menyimpulkan, “keingintahuan
anak-anak, rasa bebas, dan pikiran jernih pada akhirnya akan
menghasilkan beragam produk teknologi, yang dibawa Doraemon dari masa
depan.”
Ah,
mungkin nilai macam begitu yang harus kita petik dari Doraemon. Hingga
kita kemudian tak sekedar “dijajah secara halus”, tapi juga bisa
menularkan produk budaya kita ke luar negeri seperti yang dilakukan
Jepang, Amerika, hingga Korea lewat serial dramanya kini.
0 komentar:
Posting Komentar