Masih Adakah Ruang bagi Anak-anak Jalanan?
Hampir saja lupa kalau 23 Juli telah ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Momentum seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap silang-sengkarutnya dunia anak yang terkebiri dan termarginalkan. Tak jarang anak-anak dari keluarga tak mampu sering “dipaksa” untuk secepatnya menjadi dewasa dengan beban tanggung jawab ekonomi keluarga secara berlebihan sehingga mereka tak sempat menikmati masa kanak-kanak yang ceria dan menyenangkan. Sudut-sudut kota pun sarat dengan keliaran anak-anak jalanan. Ironisnya, tak sedikit aparat yang menilai kehadiran mereka sebagai sampah masyarakat yang mesti dikarantina tanpa ada kemauan politik untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kemiskinan dan ketidakadilan.
Anak jalanan, agaknya masih menjadi salah satu problem klasik
negara-negara berkembang, termasuk di negara kita. Kehadiran mereka di
sudut-sudut kota yang pengap dan kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya
dengan jeratan kemiskinan yang menelikung orang tuanya. Masih jutaan keluarga
di negeri ini yang hidup di bawah standar kelayakan. Untuk menyambung
hidup, mereka dengan sengaja mempekerjakan anak-anak untuk berkompetisi
di tengah pertarungan masyarakat urban yang terkesan liar dan kejam. Kekerasan demi kekerasan
seperti mata rantai yang menempa sekaligus menggilas anak-anak miskin
hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang terbelah.
Tentu saja, kita tidak bisa bersikap apriori dengan mengatakan,
“Salahnya sendiri, kenapa miskin?” Hmmm … kalau saja mereka punya
pilihan untuk dilahirkan, sudah pasti tak ada seorang pun anak manusia
yang ingin lahir dan besar di tengah-tengah deraan kemiskinan orang tuanya.
Dari sisi latar belakang kehidupan keluarga
yang sangat tidak nyaman untuk tumbuh dan berkembang secara wajar,
sesungguhnya tak ada tempat untuk menyia-nyiakan anak-anak miskin yang
terlunta-lunta hidup di jalanan. Kehadiran mereka justru perlu
diberdayakan dengan sentuhan lembut penuh kemanusiawian. Namun,
berkembangnya sikap latah dan kemaruk ingin menjadi kaum borjuis dan
bergaya hidup feodal secara instan agaknya telah membakar dan
menghanguskan nilai-nilai kemanusiawian itu. Alih-alih menyantuni, gaya hidup
borjuasi dan feodalistik itu, disadari atau tidak, justru telah
memosisikan anak-anak jalanan makin kehilangan kesejatian dirinya.
Kata-kata kasar dan perlakuan tak senonoh sudah menjadi hiasan hidup
dalam keseharian anak-anak jalanan. Orang-orang kaya yang seharusnya
bisa memberdayakan dan menggerakkan semangat hidup mereka justru makin
tenggelam dalam sikap hipokrit, pongah, dan kehilangan kepekaan terhadap nasib sesama.
Kondisi itu diperparah dengan sikap negara yang belum sepenuhnya
mampu memberikan perlindungan memadai buat mereka. Melalui tangan-tangan
aparatnya, anak-anak jalanan justru digaruk dan dihinakan di atas mobil
bak terbuka; diarak dan dipertontonkan kepada publik. Sungguh, sebuah
perlakuan purba yang jauh dari nilai-nilai kesantunan masyarakat beradab.
Kini, ketika momentum HAN itu tiba, tak jugakah kita tergerak untuk
menjadikan anak-anak jalanan sebagai generasi masa depan yang punya hak
untuk hidup secara layak di bumi yang konon “gemah ripah loh jinawi”
ini? Sudah tak ada ruangkah bagi mereka untuk bersemayam di dalam rongga
hati kita hingga akhirnya mereka benar-benar harus kehilangan masa
depan
0 komentar:
Posting Komentar